Jumat, 22 Juli 2011

Permasalahan Gerakan Sosial Di Indonesia

         
Membincang nasib pergerakan sosial, tak ada matinya. Mulai dari diskursus bersifat teoritik, hingga debat evaluasi pilihan metode praksis, tetap jadi topik menarik. Gerakan sosial pun ditakar tidak hanya dalam fakta-fakta lokal, tapi hingga membandingkannya dengan berbagai fenomena serupa dibelahan dunia lain. Tetapi kita perlu untuk merunut rentang sejarah kemunculan istilah gerakan sosial di Indonesia. Selain itu perkembangan dan tarik ulur politik gerakan yang diterapkan dalam menghadapi sistem sosial, ekonomi, politik, menarik untuk disimak.

Namun sekian lama hadir sebagai satu fakta gerakan di Indonesia, kini defenisi dan eksistensi gerakan sosial mulai digugat kembali. Banyak  argumen  yang diajukan untuk menjadi bahan refleksi dan kontemplasi atas segala pernak-pernik gerakan sosial, baik terkait anatomi gerak besarnya, hingga kompetisi bahkan konflik terbuka diantara sesama pelaku gerakan. Kesabaran mengurai satu-persatu realitas ini, akan—setidaknya—mendekatkan kita pada wajah sesungguhnya dari: gerakan sosial di Indonesia.

Sistem dunia, Orde Baru, dan LSM

            Naiknya Soeharto ditampuk kekuasaan adalah pertemuan antara dinamika politik dalam negeri, dan konflik negara-negara dominan dilevel global. Singkatnya, Soeharto adalah produk kuasa internasional yang berhasil memenangkan perebutan atas Indonesia.   Sistem dunia adalah fakta ekonomi-politik tentang pola relasi antara negara pusat(core), semi-pinggiran(semi pheripery), dan pinggiran(pheripery). Relasi global menunjukkan kalau negara-negara pusat meminjam negara-negara dunia ketiga sebagai arena perang dagang, politik, kebudayaan, pengetahuan, intelijen, bahkan perang militer.

            Aktifitas gerakan  demokrasi dinegara-negara pasca-kolonial mengalami perubahan isu dan metode. Perubahan ini ikut mempengaruhi corak pengetahuan dan epistemologi gerakan yang dipakai. Pada masa perang dunia I hingga berakhirnya perang dunia II, pergerakan politik mewujud dalam bentuk partai politik beserta seluruh sayap geraknya. Secara konsepsi, pisau analisa bercorak marxisme-leninisme mendominasi cara pandang. Pertarungan merebut struktur politik kekuasaan dengan mengandalkan gerakan massa buruh-tani revolusioner adalah ciri khas fase ini.

            Sejak perang dingin dimulai(1948), kecenderungan perubahan pilihan-pilihan metode gerakan mulai tampak. Dari pola-pola internasionalisme tunggal, menjadi faksi-faksi  berpola federatif. Mereka yang menganut garis sosialisme-komunisme internasional, berubah menjadi nasionalisme kiri. Ini adalah bentuk otokritik dari makin ekstrim dan otoriternya kutub-kutub politik dunia. Puncaknya, saat periode 1960-an, gerakan yang mengusung tema-tema identas muncul secara massif. Gerakan perempuan, masyarakat adat, hak-hak konsumen, gerakan anti-perang, gerakan lingkungan hidup, menjadi pengimbang corak gerakan buruh dan tani. Optik teori-teori neo-marxisme dan posmodernisme, menjadi bahan membuat analisa memandu gerakan.

            Perubahan gerakan di level global ini, tidak secara langsung memengaruhi pola didalam negeri. Saat aktifitas gerakan demokrasi dunia mulai condong pada gerakan sosial, Indonesia sedang mengalami ketegangan politik formal terus-menerus, hingga mencapai puncaknya dalam tragedi 1965 dan turunnya Soekarno tahun 1966. Saat Soeharto mulai berkuasa, negara dijalankan dengan sangat represif dan otoriter.

Untuk menciptakan satu keseragaman politik, maka seluruh unit-unit politik formal dipersempit ruang geraknya dalam kebijakan fusi partai periode tahun 1973-1974. Hanya ada dua partai yang dibolehkan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan(bercorak Islam), dan Partai Demokrasi Indonesia(bercorak nasionalis). Selain PPP dan PDI, juga ada GOLKAR yang dijadikan pemerintah sebagai mesin politik mempermanenkan kekuasaan. Pembatasan kebebasan berpolitik ini telah menjadi pra-syarat materil untuk siasat baru  gerakan demokrasi di Indonesia dari partai politik menjadi: Lembaga Swadaya Masyarakat.

Tak ada yang bisa mengingkari secara tidak langsung, LSM adalah lembaga produk situasi politik perang dingin antara blok barat(AS) versus blok timur(Uni soviet). Didalam negeri momentum ini menjadikan LSM sebagai pilihan logis setelah era politik aliran berakhir. Dalam konteks teknis, gerakan ini mendapatkan limpahan tenaga produktif dari unsur-unsur aktifis sosial-politik yang dilarang oleh Negara. LSM saat itu adalah pilihan cerdas menyiasati jebakan atas kelompok-kelompok yang dianggap berbahaya: fundamentalis, komunis, dan organisasi tanpa bentuk(OTB).                       

            Ideologi gerakan yang menjadi “mainstream” di LSM periode ini adalah sikap anti negara dengan formulasi gerak beragam. Mengandalkan jaringan dan dukungan dana internasional, LSM mampu membuat akselerasi perluasan kesadaran politik rakyat melalui “jalan-jalan alternatif”. Masyarakat korban pembangunan jadi sasaran utama pengorganisasian gerakan sosial. Ditiap daerah dan kota se-Indonesia dibuat simpul-simpul koordinasi baik dengan pola terbuka maupun pola tertutup. Hampir dalam semua hal, LSM dan pemerintah selalu berhadap-hadapan.       

Lewat  cara yang sangat canggih, kuasa internasional berhasil membangun kombinasi kepentingan di Indonesia. Rezim soeharto dengan segala mesin konglomerasi dan mesin represif yang dibangun, dianggap sudah mulai membusuk. Tentu saja, kalkulasi ini makin lengkap karena bayang-bayang kemenangan Amerika Serikat makin tampak saat unsur-unsur pengusung gerakan glasnost-perestroika makin menguat di Uni Soviet. Jauh sebelum tembok berlin runtuh dan Uni Soviet bubar, sebuah perubahan transisional telah disiapkan dalam satu skema besar. Ini hanya pengulangan sejarah, saat negara adikuasa berkongsi dengan jejaring korporasi global menyiapkan pola negara pasca-kolonial di Amerika Latin, Asia, dan Afrika.

Memanfaatkan “dendam politik” faksi-faksi dalam negeri mulai dari spektrum kanan, tengah, hingga spektrum kiri, kuasa negara dan korporasi global berniat mengganti Soeharto yang dianggap telah dan tak sesuai lagi dengan ‘kehendak umum’ mereka. Indonesia ingin didorong masuk lagi dalam ruang demokrasi normatif dengan corak semi-liberal. Sebuah pemilu multipartai dan parlemen tanpa fraksi TNI-POLRI, diharapkan menjadi penopang resep-resep ekonomi yang akan ditawarkan oleh IMF, Bank Dunia, dan CGI. Kekuatan pendobrak perubahan diharapkan datang dari gabungan antara gerakan mahasiswa, partai politik radikal anti Soeharto(PDI, PRD) dengan gerakan sosial yang digawangi oleh LSM.

Didahului oleh krisis moneter, secara berantai perubahan politik berlangsung sangat cepat. Soeharto akhirnya lengser dari jabatan presiden setelah 32 tahun berkuasa dengan korup dan otoriter. Partai politik anti-Soeharto, gerakan mahasiswa, dan LSM, lalu seolah mendapatkan posisi sejarah yang strategis sebagai penjaga demokrasi, corong demokrasi, gerbong reformasi, dan berbagai label penuh bias tak jelas. Selama tahun-tahun awal reformasi, euphoria perubahan telah mengaburkan bahkan memanipulasi kesadaran aktor dan kelompok “pro-reformasi” sehingga tidak lagi memiliki ke-awas-an sejarah yang cukup dalam membaca peta situasi global dikaitkan dengan situasi nasional.

Nalar Dikotomik dan gerakan ekstra-parlementer

            Citra LSM sebagai pilar utama gerakan sosial di Indonesia tak bisa dipungkiri. Meski spektrum gerakan sosial bercorak kultural cukup banyak, namun LSM dianggap memiliki kemampuan mengkonsolidasi diri secara nasional. Agaknya sudah menjadi satu hukum sejarah,  sebuah perubahan tanpa ‘skenario pasca-sukses’ akan mengakibatkan demoralisasi dan moderasi sebagai penyakit bawaan. Faksionalisme politik berkembang seiring dengan kompetisi berebut klaim dan sumber-sumber pendanaan. Perbedaan faham terus meningkat menjadi konflik terbuka antar pihak yang merasa harus mengambil jalan gradual atau jalan radikal reformasi di Indonesia.  

            Liberalisasi politik meski setengah hati, membuka ruang partisipasi politik lebih luas dari masa orde baru. Sayang, keadaan berlangsung tak serupa dengan masa liberal politik diawal tahun 1950-an. politisi eks-orba bertemu dengan lapis politik kelompok-kelompok sosial yang bermetamorfosis menjadi partai politik. Sebagian besar hanya menjadikan partai politik sebagai ‘mantel kekuasaan’ dan romantisme aliran politik sebelum masa fusi partai. Partai dan golongan politik anti-soeharto, menjadi “korban awal” yang ditelikung oleh narasi sistem besar dari kapitalisme global.
            Gerakan mahasiswa juga tak selamat. Ketiadaan ideologi, non-programatik, tak jelas garis metode, hingga bias elitis, membuat gerakan mahasiswa hampir kehabisan nafas. Jangankan memenangkan isu-isu besar terkait situasi politik-ekonomi-sosial bangsa, soal yang menjadi masalah “dalam rumah mereka” seperti subsidi pendidikan, BHMN-BHP, hampir-hampir tak mendapatkan respon massif diberbagai kantong-kantong utama mahasiswa Indonesia. Hari ini, reformasi sudah melewati 10 tahun perjalanan, dan nafas gerakan mahasiswa mulai megap-megap, kewalahan menyiasati situasi politik local-nasional-global.

            Pasca-reformasi LSM mulai dilabeli judul organisasi non-pemerintah(non governmental organization) untuk membedakannya dengan negara atau organisasi pemerintah(governmental organization). Nalar dikotomik seperti ini tanpa melihat gambar besarnya, akan membuat kita terjebak dalam konflik-konflik domestik, dan mengabaikan konfigurasi negara serta korporasi global. Situasi kini membuat kita sering lupa jika neoliberalisme tidak hanya menggunakan instrumen negara tapi juga berbagai institusi diluar negara. Indonesia tengah masuk pada fase “pendisiplinan diri” atas mekanisme yang digariskan oleh IMF, Bank Dunia, CGI, dan WTO.

            Seolah siklus sejarah berulang. Saat orde baru, pembatasan partai politik menjadi landasan bagi eksistensi LSM. Sebaliknya, pasca-reformasi arus partai politik meningkat, aktifitas NGO menurun, bahkan sebagian besar gulung tikar. Negara melalui Badan Intelijen Negara(BIN) bermodalkan alasan waspada atas penetrasi intel asing---terdengar simplistik—menyeleksi berbagai jaringan dana internasional. Sebuah seleksi sejarah berlangsung, dan memberi  gambar nyata atas arus mundur gerakan sosial pasca-reformasi di Indonesia karena ketidakmampuan—salah satunya—NGO menetapkan agenda-agenda strategis. Selain itu konflik-konflik ditingkat aktor dan antar institusi seringkali mengacaukan konsolidasi gerakan dilevel rakyat berbagai sektor.                                           
             
            Dibanyak daerah perdebatan atas pola metamorfosis LSM atau NGO, berlangsung keras. Sebagian berharap LSM tetap sebagai pilar ekstraparlementer dan kekuatan oposisi sosial atas negara. Sejumlah pihak mendorong LSM memprakarsai berdirinya satu partai politik progresif yang akan menjadi alat politik alternative melindungi kepentingan rakyat. Dengan hitungan jumlah komunitas terorganisir buah kerja LSM dimasyarakat, maka terasa syarat untuk pendirian partai politik telah tercukupi. Sebagian lain dengan menggunakan logika “menyelamatkan negara”, mereka membangun upaya kemitraan strategis dengan pemerintah. Baik dalam program-program sosial, pun membantu kinerja pemerintah.

            Tentu saja menentukan pilihan tindakan yang bersesuaian dengan realitas multikompleks tidak mudah. Apalagi masyarakat kini tidak hanya butuh satu penjelasan atas hak-hak sipil politik dan ekosob, tapi juga bentuk kesadaran yang terintegrasi dengan pembangunan produksi ekonomi riil mereka. Pola semisal civic education, atau pelatihan partisipasi publik, tidak zaman lagi. Kita harus terus mempertajam eksperimentasi metode pengorganisasian gerakan sosial.

            Selama ini selain cenderung bernalar tunggal dan dikotomik, kebanyakan LSM tidak mampu mendorong satu bentuk aliansi sektoral dan koalisi bersifat programatik. Kita berharap selanjutnya, seluruh kekuatan gerakan sosial ditiap wilayah, mampu untuk saling mengkoneksikan kepentingan mereka. Dari gerakan semata sektoral menjadi gerakan teritorial, yang bertumpu pada kesepahaman strategis seluruh partisipan dan aktor gerakan sosial berjalan. 

Selasa, 19 Juli 2011

Tumbuhkan Pribadi Sehat dan Kuat

Untuk Menangkal Penyalahgunaan Narkoba
c

1.  Kenyataan saat ini.
a.   Narkoba telah disalahgunakan tidak hanya oleh anak atau remaja dari keluarga broken home saja, tetapi juga dari keluarga harmonis.
b.   Anak-anak pandai, terpelajar dan berpendidikan tinggi juga banyak yang menyalahgunakan narkoba.
.   Menggunakan narkoba bukan semata-mata untuk pelarian dari masalah, tetapi sebagai rekreasi, hiburan dan sarana mencari excitement/tantangan.
d.   Penyalahgunaan narkoba sudah dijadikan gaya hidup orang modern.
e.   Narkoba digunakan oleh mereka dari kalangan sosial ekonomi tinggi maupun menengah bawah.
f.    Narkoba juga banyak disalahgunakan oleh anak-anak, remaja, orang dewasa dan orang tua.
g.   Penyalahgunaan narkoba sudah mencapai proporsi epidemik (wabah).

Sabtu, 16 Juli 2011

‘PSIKOSIS MEGALOMANIA’ 'PSIKOSIS IBLIS'


Iblis berkata: ’ana khairun minhu’.
“Aku lebih baik dari padanya”
(QS. Shaad: 76)

Psikosis Megalomania adalah suatu pandangan psikologi Barat untuk memberikan penamaan terhadap orang-orang yang mengidap gejala kejiwaan ‘gemar memuji-muji diri sendiri’. Dengan menggunakan analisis psikosis megalomania kita akan menjumpai beberapa kelompok Islam yang terjangkit gejala kejiwaan ‘gemar memuji-muji diri sendiri’.    

Diantara Kelompok-kelompok yang terdeteksi tersebut mempunyai gejala yang sama diantara mereka. Kesemuanya adalah tipe manusia yang gemar memuji-muji diri sendiri. Konsekuensi logis dari kegemaran mereka untuk memuji diri itu adalah mereka suka mengecam dan mencela orang-orang yang di sekitarnya yang mereka anggap cocok untuk dicela. Sebab mereka tidak ingin ada sosok lain kecuali diri mereka yang dipuji orang sehingga jalan apa pun akan mereka tempuh untuk memperoleh pujian tersebut.

Jumat, 15 Juli 2011

MANAJEMEN DAKWAH

A. Definisi manajemen secara etimologi

Manajemen di dalam bahasa inggris, berasal dari kata to manage dalam Webster New Coolegiete Dictionary. Kata manage dijelaskan berasal dari bahasa itali ”Managgio” dari kata ”managgiare” yang selanjutnya kata ini berasal dari bahasa latin Menus yang berarti tangan (hand).
Kata manage di dalam kamus tersebut diberi arti
  1. to direct and control (membimbing dan mengawasi)
  2. to treat with care (memperlakukan dengan seksama)
  3. to carry on business or affairs (mengurus perniagaan, atau urusan-urusan / persoalan-persoalan)
  4. to achieve one’s purpose (mencapai tujuan tertentu).
Manajemen dalam bahasa arab diartikan sebagai an-nizam atau at-tanzhim. Yang merupakan, suatu tempat untuk, menyimpan segala sesuatu, dan penempatan segala sesuatu pada tempatnya.

Pluralitas Budaya di Indonesia

Pengertian Pluralitas Budaya
Pluralitas budaya sering disamakan dengan istilah multikulturalisme, dua istilah tersebut memang memiliki makna yang mirip. Akan tetapi, multikulturalisme merupakan paham atau ideology yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap keanekaragaman budaya adalah hal yang ada dalam suatu wilayah. Ada pula istilah pluralitas kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, pluralism kebudayaan adalah dua macam tradisi kebudayaan atau lebih yang  membagi masyarakat kedalam golongan sosial yang berbeda-beda. Menurut E. B. Y. Tylor kebudayaan merupakan sesuatu yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum adat istiadat kesanggupan, serta kebiasaannya, maka dengan adanya pluralitas budaya dalam suatu negara diperlukan nilai dan norma budaya untuk mengatur unsur-unsur yang mencakup dalam kebudayaan tersebut.


Thanks For Visiting The Site | Orkut blogger Template Designed By Rockstar Template